Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Work Hours
Monday to Friday: 7AM - 7PM
Weekend: 10AM - 5PM

Sepekan Dunia Pertambangan

Informasi Dunia Pertambangan Indonesia dan Luar Negeri dalam Sepekan Terakhir

Pebisnis Keberatan, Kenaikan Tarif Royalti Minerba Dinilai Memberatkan Industri

PARA pelaku usaha di sektor mineral dan batubara menyatakan keberatan terhadap rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menaikkan tarif royalti mineral dan batubara (minerba).

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengungkapkan bahwa pihaknya belum menerima surat keberatan secara resmi dari asosiasi pelaku usaha pertambangan.

“Kalau baca di berita sih ada ya (keberatan). Tapi saya belum menerima surat keberatan secara resmi,” kata Julian kepada Kontan, Minggu (16/3).

Menurut Julian, apabila Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur kenaikan tarif royalti telah ditandatangani, maka aturan tersebut tetap akan diberlakukan.

Kementerian ESDM telah menggelar rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Sekretariat Negara, sehingga implementasi kebijakan ini tinggal menunggu pengesahan Peraturan Pemerintah (PP).

Asosiasi Minta Penundaan

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, mengatakan bahwa pelaku usaha keberatan dan meminta pemerintah menunda rencana kenaikan tarif royalti.

Ia menekankan pentingnya diskusi yang lebih komprehensif dengan pelaku usaha mengenai dampak kebijakan ini.

“Iya, setahu saya beberapa asosiasi seperti IMA, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) telah mengajukan surat ke pemerintah agar rencana tersebut ditunda karena sangat memberatkan pelaku usaha. IMA mengajukan surat keberatan ke Kementerian ESDM,” ujar Hendra.

Hendra menjelaskan bahwa surat keberatan tersebut menguraikan dampak kenaikan tarif royalti, mulai dari sektor hulu hingga hilir.

Di sektor hulu, kenaikan royalti dapat menghambat investasi eksplorasi, yang pada akhirnya memengaruhi keberlanjutan pasokan mineral untuk hilirisasi dalam jangka panjang.

“Tanpa eksplorasi, maka pasokan untuk mendukung peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) akan terpengaruh dalam jangka panjang,” tambahnya.

Lebih lanjut, Hendra mengatakan bahwa kebijakan ini akan semakin membebani perusahaan pertambangan.

“Tahun ini saja, sejak Januari hingga sekarang, beban biaya terus meningkat. Ada kebijakan B40, kenaikan suku bunga akibat aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan yang mendapat tax holiday, kenaikan PPN menjadi 12%, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%, serta potensi kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya,” ungkapnya.

Selain itu, harga komoditas unggulan seperti batubara juga terkena dampak kebijakan Harga Batubara Acuan (HBA), di mana harga jual domestik ke PLN masih dipatok di angka US$70 per ton.

Dampak Kenaikan Royalti terhadap Daya Saing

Menurut Hendra, tarif royalti di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara produsen mineral lainnya.

“Tarif royalti kita kurang kompetitif dibanding negara lain,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa setiap kenaikan royalti dan pajak akan semakin menekan margin usaha pelaku industri, terutama di tengah tren penurunan harga komoditas dan kenaikan biaya operasional.

Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno, juga menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu masukan dari para anggota untuk didiskusikan dalam pertemuan di Hotel Sultan.

Menurut Djoko, kenaikan tarif royalti minerba akan berdampak signifikan terhadap industri pertambangan di Indonesia, termasuk meningkatnya biaya produksi, menurunnya daya saing, berkurangnya investasi, serta meningkatnya harga komoditas.

Djoko menambahkan bahwa APNI telah mengajukan permohonan penundaan kenaikan tarif royalti karena beban biaya yang terus meningkat akibat berbagai kebijakan, seperti kenaikan B40, PPN, aturan DHE, dan kenaikan PNBP di sektor kehutanan.

pihak.

“Agar ditemukan tarif royalti yang pas, sehingga tercipta win-win solution,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, keberatan yang diajukan oleh asosiasi pelaku usaha adalah hal yang wajar.

“Kondisi industri pertambangan saat ini memang sedang tidak baik, baik karena faktor global maupun kebijakan dalam negeri yang semakin memberatkan,” ujarnya.

Menurut Bisman, meskipun pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan negara, namun waktu penerapan kebijakan ini kurang tepat.

Perbandingan Tarif Royalti Indonesia dengan Negara Lain

Menurut data IMA, berikut adalah perbandingan tarif royalti mineral di Indonesia dengan negara lain:

Tembaga (Ore):

· Indonesia: 3,75% – 10%

· Filipina: 4%

· Australia: 2,5% – 7,5%

· Kanada: 1% – 17% (berbasis penghasilan bersih)

· Brasil: 2%

Tembaga (Konsentrat):

· Indonesia: 4%

· Filipina: 4%

· Australia: 2,5% – 7,5%

· Kanada: 1% – 17%

· Brasil: 2%

Nikel (Ore):

· Indonesia: 10%

· Filipina: 5% – 7%

· Australia: 5% – 7,5%

· Kanada: 5% – 13%

· Brasil: 2% – 5%

Usulan Perubahan Tarif Royalti PP 26/2022

Berikut adalah usulan perubahan tarif royalti minerba dalam revisi PP 26/2022:

· Tembaga (Ore): dari 5% menjadi 10% – 17%

· Tembaga (Konsentrat): dari 4% menjadi 7% – 10%

· Tembaga (Katoda): dari 2% menjadi 4% – 7%

· Emas: dari 3,75% – 10% menjadi 7% – 16%

· Nikel (Ore): dari 10% menjadi 14% – 19%

· Nikel (Matte): dari 2% (dengan tambahan 1% windfall) menjadi 4,5% – 6%

· Nikel (FENI): dari 2% menjadi 4% – 5%

Nikel (NPI): dari 5% menjadi 5% – 7%. 

Sumber: industri.kontan.co.id

Bahlil Ungkap 2 Pabrik Turunan Tembaga Bakal Dibangun Dekat Smelter Freeport

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan akan ada dua industri turunan tembaga yang dibangun di KEK Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE).

Hal itu dia sampaikan saat memberi laporan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam acara peresmian fasilitas pemurnian emas atau precious metal refinery (PMR) milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Senin (17/3/2025).

Menurut Bahlil, pembangunan dua pabrik itu tak lepas dari keberadaan smelter tembaga PTFI di lokasi yang sama. Kelak, pabrik akan menyerap produk katoda tembaga dari smelter Freeport.

“Ada dua [pabrik] yang akan kita bangun Bapak Presiden. Freeport itu di Gresik adalah di sini. Total investasinya kurang lebih sekitar Rp6 triliun hingga Rp7 triliun,” ucap Bahlil.

Bahlil pun mengatakan pabrik itu akan mengolah katoda tembaga menjadi copper foil hingga kabel. Dengan begitu, hilirisasi tembaga bisa berjalan optimal di KEK JIIPE.

“Dan itu memanfaatkan bahan baku tembaga yang ada di sini. Supaya kita betul-betul sampai di tingkat hilir. Itu adalah atas arahan Bapak Presiden,” tutur Bahlil.

Adapun, smelter PTFI diresmikan pada September 2024 lalu. Fasilitas pemurnian tembaga itu sudah memulai tahap commissioning pada Juni 2024 dan produksi perdana pada Agustus 2024. Smelter tembaga dengan desain jalur tunggal (design single line) terbesar di dunia ini mampu memurnikan konsentrat tembaga dengan kapasitas input 1,7 juta ton konsentrat dan menghasilkan katoda tembaga 600.000-700.000 per tahun.

Berdasarkan catatan Bisnis, nilai investasi kumulatif untuk proyek yang menempati lahan 100 hektare di KEK JIIPE tersebut telah mencapai US$3,7 miliar atau sekitar Rp58 triliun. Editor : Denis Riantiza Meilanova

Sumber: ekonomi.bisnis.com

Royalti Minerba Naik, Kementerian ESDM: Pemerintah Tak Membunuh Industri Pertambangan

KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan kebijakan kenaikan royalti di sektor pertambangan tidak akan merugikan industri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno memastikan pemerintah telah melakukan evaluasi menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan ini.

“Yakinlah bahwa pemerintah tidak akan membunuh industri pertambangan ini. Karena memang industri pertambangan sangat diperlukan, terutama dalam kaitannya dengan hilirisasi yang mendukung akselerasi ekonomi di Indonesia,” kata Tri dalam Mining Forum, Selasa (18/3).

Tri menuturkan, kenaikan royalti untuk batubara tidak akan terlalu membebani industri. Menurutnya, pemerintah selalu meninjau laporan keuangan perusahaan sebelum mengambil keputusan terkait kenaikan royalti untuk memastikan keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan bisnis perusahaan tambang.

“Kalau misalnya kita menaikkan royalti ini untuk batubara, saya rasa tidak terlalu berat. Untuk mineral, mungkin terasa lebih berat, tetapi sebenarnya tidak juga. Artinya, pemerintah sebelum melakukan kenaikan pasti melakukan evaluasi terhadap laporan keuangan perusahaan,” jelasnya.

Tri juga mengungkapkan kebijakan royalti di sektor pertambangan telah mengalami perubahan sejak era Orde Baru. Ia menyinggung sejarah penentuan besaran royalti untuk perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama.  “Dulu, pada masa Pak Sutaryo Sigit sebagai Dirjen Minerba —saat itu masih disebut Dirjen PU— PKP2B generasi pertama meminta royalti sebesar 9%. Sementara itu, pemerintah ingin menetapkan 18%. Karena lama sekali tidak mencapai kesepakatan, mereka menghadap Pak Harto. Pak Harto menyampaikan ya sudah 18 ditambah 9 dibagi 2 saja, keluarlah 13,5%.” paparnya.

Sebelumnya, pebisnis mineral dan batubara keberatan dengan rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengerek tarif royalti mineral dan batubara (minerba).

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, pelaku usaha keberatan dan meminta agar pemerintah menunda rencana kenaikan tarif roualti tersebut dan membahas secara komprehensif dengan pelaku usaha mengenai potensi dampaknya. 

Asosiasi pelaku usaha telah mengajukan surat ke pemerintah karena kenaikan royalti minerba sangat memberatkan pelaku usaha.

“Iya setahu saya beberapa asosiasi seperti IMA, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) telah mengajukan surat ke pemerintah memohon agar rencana tersebut ditunda karena akan sangat memberatkan pelaku usaha. IMA mengajukan surat ke Kementerian ESDM,” kata Hendra kepada Kontan, Minggu (16/3).

Hendra menjelaskan, surat yang dilayangkan ke Kementerian ESDM memuat mengenai dampak dari huku hingga ke hilir pertambangan. Dari hulu, tentunya berdampak pada investasi untuk eksplorasi yang semakin terhambat.

“Tanpa eksplorasi, maka keberlanjutan pasokan untuk mendukung peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) akan terpengaruh untuk jangka panjang,” ujar Hendra.

Lebih lanjut, Hendra bilang dampak kenaikan royalti minerba ini akan berdampak pada operasional perusahaan karena beban perusahaan semakin bertambah.

Di tahun ini saja, kata Hendra, sejak Januari hingga sekarang beban biaya semakin menjngkat. Di Januari, terdampak kebijakan B40, beban biaya bunga akan terus meningkat akibat aturan DHE, bagi perusahaan yang telah mendapatkan tax holiday akan terkena Global Minimum Tax 15%, kenaikan PPN 12%, UMP juga naik naik 6,5%, dan PNBP lainnya juga dikabarkan akan naik.

“Semua komoditas unggulan kita yang kontribusi besar untuk ekspor akan terdampak. Untuk batubara ada kebijakan HBA, harga domestik ke PLN yang masih dipatok US$ 70/ton,” ujar Hendra.

Selain beberapa poin tersebut, tarif royalti di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara produsen mineral lainnya. “Jadi tidak kompetitif,” tambahnya.

Hendra menambahkan, setiap kenaikan tarif royalti dan tarif pajak lainnya tentu akan berdampak terhadap margin usaha pengusaha di tengah tren harga yang menurun dan beban biaya operasional terus meningkat.

Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengungkapkan, pihaknya masih menunggu masukan dari Anggota yang akan didiskusikan atau dirumuskan besok di Hotel Sultan.

Menurut Djoko, kenaikan royalti minerba akan berdampak signifikan terhadap industri pertambangan di Indonesia. Beberapa dampaknya antara lain biaya produksi meningkat, penurunan daya saing, potensi pengurangan investasi, hingga peningkatan harga komoditas.

Djoko menambahkan, APNI mengajukan permohonan untuk menunda kenaikan royalti minerba karena beberapa beban yang dirasakan akibat adanya kenaikan B40, kenaikan PPN, DHE ditahan 100% selama 12 bulan, hingga kenaikan PNBP di sektor kehutanan.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengatakan, rencana kenaikan tarif royalti minerba akan semakin membankan usaha pertambangan meningat mining cost yang semakin tinggi, seperti stripping ratio yang rata-rata sudah di atas 1:10. Ditambah, harga komoditas terendah sejak 5 tahun terakhir dan telah turun sekitar 60% dari all time high di tahun 2022.

Fathul berharap sebelum pemerintah memutuskan revisi besaran tarif royalti minerba, pemerintah membuat kajian sensitivity analysis antara kenaikan tarif royalti dengan demand terhadap komoditas dan margin usaha industri.

“Agar ditemukan tarif royalti yang pas, sehingga tercipta win-win solution,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (16/3).

Sumber: industri.kontan.co.id

Peran Bahlil dan Game Changer Smelter Freeport di Gresik

PENELITI The Reform Initiative (TRI) sekaligus dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Unggul Heriqbaldi, menyoroti peran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam sukses nya pembangunan Precious Metal Refinery (PMR) di Gresik, Jawa Tengah.

PMR diresmikan secara langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (17/3) kemarin dan disebut bisa memproduksi emas hingga 70 ton per tahun.

Menurut Unggul, pembangunan PMR di Gresik merupakan dampak dari hilirisasi yang sudah dijalankan Bahlil sejak masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bahkan, saat ini Menteri Bahlil juga dipercaya Presiden Prabowo sebagai Ketua Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional.

“Peran beliau sangat strategis tidak hanya dalam memastikan bahwa proses hilirisasi ini menciptakan nilai tambah ekonomi yang tinggi, namun juga dalam memastikan upaya hilirisasi berdampak signifikan dalam konteks penerapan dan inovasi teknologi di sektor-sektor yang dikembangkan,” kata Unggul dalam keterangannya, Selasa (18/3/2025).

Menurutnya, keberhasilan hilirisasi industri pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari strategi Bahlil dalam mengintegrasikan teknologi, peningkatan sumber daya manusia (human capital), serta kepemilikan sumber daya yang dimiliki Indonesia.

“Kombinasi teknologi, human capital, dan kepemilikan sumber daya dapat menjadi game changer bagi pertumbuhan ekonomi dan daya saing Indonesia,” jelas Unggul.

Lebih lanjut, ia menilai peresmian PMR di Gresik menjadi salah satu tonggak penting dalam penguatan hilirisasi industri pertambangan di Indonesia. Smelter ini, kata dia, akan berperan dalam pengolahan logam mulia seperti emas, perak, dan platinum, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi serta memperkuat posisi Indonesia di pasar global.

Unggul menyebut keberadaan PMR di Gresik membuka peluang besar bagi Indonesia dalam ekspor logam mulia dalam bentuk produk olahan berkualitas tinggi.

“PMR di Gresik akan memungkinkan Indonesia untuk mengekspor logam mulia dalam bentuk produk olahan berkualitas tinggi, bukan hanya sebagai bahan mentah. Jika dibandingkan dengan ekspor emas mentah, pemurnian dalam negeri dapat meningkatkan nilai tambah hingga 30-40% tergantung pada kadar kemurnian dan produk akhir yang dihasilkan,” ujar Unggul.

Selain manfaat ekspor, keberadaan PMR juga memberikan dampak signifikan terhadap industri dalam negeri. Unggul menjelaskan bahwa industri perhiasan, elektronik, serta katalis dan otomotif akan mendapat manfaat dari pasokan bahan baku berkualitas tinggi yang dihasilkan oleh smelter ini.

“Dengan pasokan emas dan perak yang lebih terjamin serta berkualitas tinggi, industri perhiasan dalam negeri dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global. Kota-kota seperti Surabaya dan Jakarta yang memiliki klaster industri perhiasan bisa memperoleh manfaat besar,” katanya.

Jawa Timur, khususnya Gresik, telah memiliki ekosistem industri yang matang dengan adanya kawasan ekonomi khusus (KEK) dan pelabuhan ekspor yang strategis. Dengan hadirnya PMR, wilayah ini diharapkan semakin berkembang sebagai pusat industri hilirisasi mineral dan metalurgi.

“Integrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik serta penguatan pelabuhan dan logistik akan semakin meningkatkan efisiensi distribusi produk hasil pemurnian, baik untuk ekspor maupun kebutuhan domestik,” tutur Unggul.

Lebih lanjut, Unggul menjelaskan, dengan berbagai manfaat yang ditawarkan oleh PMR Gresik, diharapkan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah serta memperkuat daya saing industri hilir berbasis mineral di tingkat global.

Sebelumnya, Menteri Bahlil Lahadalia mengungkap nilai investasi smelter atau pabrik pemurnian emas PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik mencapai Rp10 triliun. Bahlil menyebut smelter tembaga dengan design single line terbesar di dunia ini mampu memurnikan konsentrat tembaga dengan kapasitas input 1,7 juta ton dan menghasilkan katoda tembaga hingga 600.000-700.000 ton per tahun.

Seperti diketahui, PT Freeport berdiri di Indonesia sejak 1967 dan telah memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Indonesia selama 58 tahun. Namun, selama kurun waktu tersebut konsentrat tembaga yang dihasilkan belum bisa diolah di dalam negeri sehingga harus diekspor. Dengan hadirnya smelter PTFI di Gresik ini maka konsentrat tembaga bisa diolah menjadi katoda tembaga dan lumpur anodanya yang mengandung emas dan perak bisa diproduksi di dalam negeri.

Jika menilik jauh ke belakang, peletakan batu pertama atau groundbreaking smelter ini dilakukan pada 12 Oktober 2021 oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) atau dua tahun setelah kepemimpinan Bahlil sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM hingga akhirnya smelter ini benar- benar terealisasi.

Keberadaan smelter ini juga membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar. Setelah smelter beroperasi penuh, jumlah tenaga kerja yang terserap diperkirakan mencapai 2.000 orang yang terdiri dari 1.200 karyawan kontraktor dan 800 karyawan PTFI. Pembangunan smelter ini juga dapat melahirkan perusahaan dan industri turunan. Sebab produk limbahnya berupa tembaga mampu dijadikan bahan dasar pembuatan telepon seluler serta alat elektronik dan otomotif, sehingga akan semakin banyak lagi lapangan pekerjaan tercipta. Editor : Media Digital

Sumber: ekonomi.bisnis.com

Royalti hingga HBA, Upaya Genjot PNBP dari Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral

DI TENGAH penerimaan pajak yang seret, pemerintah mengandalkan sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pada awal tahun ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM gencar merilis kebijakan untuk mengeduk PNBP. Beberapa kebijakan yang sudah terlihat seperti, pertama, kebijakan kenaikan tarif royalti mineral dan batubara (minerba) dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ESDM.

Kedua, kebijakan baru iuran migas yang mencakup bisnis BBM di SPBU dan distribusi gas  melalui PP Nomor 9 Tahun 2025 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi Pada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). 

Ketiga, kebijakan HBA Batubara untuk transaksi (termasuk ekspor).

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengungkapkan Kementerian ESDM menargetkan penerimaan PNBP sektor ESDM pada tahun 2025 sebesar Rp 254, 49 triliun. Target ini lebih besar daripada yang dipatok pada tahun 2024 sebesar Rp 234,2 triliun.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi setoran PNBP dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang 2024 turun 10% secara year on year (yoy) menjadi Rp269,5 triliun.

Meski begitu, angka tersebut masih melampaui target tahun lalu sebesar Rp 234,2 triliun, dengan capaian mencapai 115% dari yang direncanakan.

Dadan menuturkan, strategi pemerintah menggenjot PNBP di sektor energi antara lain, pertama, melakukan percepatan penyelesaian peraturan perundangan seperti perubahan revisi PP 26 Nomor 2022 tentang Jenis dan Tarif PNBP.

“Di mana terdapat penyesuaian tarif yang dapat meningkatkan PNBP,” kata Dadan kepada Kontan, Kamis (20/3).

Strategi berikutnya, melakukan penguatan pengawasan penerimaan negara dengan cara melakukan audit kepatuhan wajib bayar, penerapan penghentian layanan (automatic blocking system).

Kementerian ESDM juga melakukan pemanfaatan data pembayaran PNBP melalui integrasi aplikasi e-PNBP dengan simphoni aplikasinya, penguatan tata kelola dari hulu ke hilir sektor ESDM di dalamnya termasuk peningkatan sinergi dan perluasan IT (aplikasi simbara), mempercepat penawaran WK Migas, optimalisasi penagihan piutang PNBP, peningkatan mutu layanan sektor ESDM, hingga peningkatan koordinasi antar instansi atau lembaga.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan kenaikan tarif royalti minerba berpotensi meningkatkan PNBP, terutama dari sektor batubara yang menjadi kontributor utama, seperti yang terlihat pada tahun 2023 ketika PNBP dari royalti batubara meningkat lebih dari dua kali lipat berkat implementasi PP Nomor 26 Tahun 2022.

“Namun, penurunan harga komoditas global dan kondisi ekonomi yang lesu saat ini dapat mengurangi produksi dan ekspor, berisiko menekan PNBP meskipun tarif royalti dinaikkan,” kata Yusuf kepada Kontan, Kamis (20/3).

Sementara itu, lanjut Yusuf, kebijakan iuran migas yang mencakup bisnis BBM di SPBU dan distribusi gas bisa menjadi sumber pendapatan tambahan jika konsumsi energi tetap stabil, tetapi dalam kondisi ekonomi yang lesu, konsumsi energi cenderung menurun sehingga berpotensi mengurangi penerimaan.

Selain itu, Yusuf menyoroti jika iuran ditetapkan terlalu tinggi, hal ini dapat membebani pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya justru menekan aktivitas ekonomi di sektor migas dan mengurangi PNBP. 

Di sisi lain, kebijakan HBA batubara bertujuan memastikan harga yang digunakan untuk menghitung royalti lebih mencerminkan kondisi pasar, yang dapat meningkatkan PNBP jika harga global stabil atau naik.

“Namun, ketika harga batubara turun seperti yang terjadi pada 2023, pendapatan dari royalti juga akan terdampak negatif, apalagi saat ini proyeksi permintaan global melemah, sehingga memperparah tekanan pada produksi dan ekspor,” ungkapnya.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai naiknya tarif royalti minerba memang dibutuhkan pemerintah untuk empat tujuan utama. 
Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari sektor minerba ditengah rendahnya harga komoditas minerba. Jatuhnya harga batubara sebesar 23,5% selama satu tahun terakhir dan nikel anjlok 10,55% diperiode yang sama berisiko tinggi ke merosotnya PNBP tahun ini.

“Jadi tarif royalti memang harus dilakukan adjustment untuk topang PNBP,” kata Bhima kepada Kontan, Kamis (20/3).

Kedua, kenaikan tarif royalti minerba bermanfaat agar terjadi shifting dari sektor minerba ke sektor yang lebih berkelanjutan.

“Kalau tarif royalti naik, sektor minerba kan mendapat disinsentif, nah diharapkan pengusaha mulai diversifikasi ke sektor energi terbarukan misalnya,” tutur Bhima.

Ketiga, memperketat pengawasan. pemerintah harus mewaspadai lonjakan ekspor minerba ilegal karena naiknya tarif royalti. 

Terakhir, dari penerimaan royalti minerba diharapkan dana digunakan untuk melakukan subsidi dan insentif bagi sektor EBT.

“Jangan sampai royalti mau naik tarifnya tapi untuk keperluan yang tidak berkaitan dengan ketahanan dan transisi energi,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar memahami bahwa Pemerintah sedang mencari dan menggali sumber pendapatan untuk mengatasi APBN.

Namun, kata Bisman, jika upaya tersebut dengan kebijakan menaikkan royalti dan pungutan pada usaha sektor  pertambangan dan migas, Pemerintah perlu meninjau dan mempertimbangkan ulang karena jika menaikkan royalti dan iuran pada jangka pendek benar akan mendapatkan penerimaan negara lebih besar namun justru akan berdampak ke depan sektor usaha pertambangan akan kolaps.

“Hari ini sektor usaha pertambangan sedang tidak baik-baik saja, harga komoditas cenderung turun sementara beban operasional semakin tinggi,” tuturnya kepada Kontan, Kamis (20/3)

Menurut Bisman, jika ada kenaikan royalti dan iuran maka akan menambah beban pelaku usaha yang sudah berat makin berat.

“Jadi sebaiknya kebijakan kenaikan tersebut ditunda, karena hanya akan menambah penerimaan negara yang tidak signifikan namun dampak buruknya bagi pelaku usaha itu pasti,” ungkapnya. 

Sumber: industri.kontan.co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *