Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Work Hours
Monday to Friday: 7AM - 7PM
Weekend: 10AM - 5PM

CURRENT PRICES AND THE FUTUREPOTENTIAL OF COAL

Pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan konsumsi energi yang berdampak pada turunnya serapan batubara untuk kebutuhan energi di tahun ini. Belum lagi ditambah dengan negara-negara maju yang mulai beralih ke energi bersih, yang artinya konsumsi batubara akan semakin menurun. Sementara itu, penurunan harga batu bara tak lepas dari fundamental pasar yang rapuh baik dari sisi permintaan maupun pasokan.

https://www.miningreview.com/coal/coal-miners-committed-investing- create-jobs/

Turunnya permintaan dan tingginya stok batubara di pasar global berdampak pada tren penurunan
Harga Batubara Acuan (HBA) dalam lima bulan terakhir. Pada bulan Agustus 2020 HBA dipatok US$
50,34 per ton, turun 3,49% dibandingkan HBA bulan Juli 2020 yang sebesar US$ 52,16 per ton.

Berkaitan dengan hal ini, Indonesian Mining Institute pada 18 Agustus 2020 mengadakan webinar IMI
Mining Network dengan topik “Understanding Current Prices and Future Potential of Coal”, menghadirkan Ibu Diyana Putri Alan dari IHS Markit selaku key note speaker dan dua panelis, yakni:
Bapak Bob Kamandanu (CEO Trafigura) dan Adib Ubaidillah (Direktur Niaga PT Bukit Asam Tbk).

PELEMAHAN INVESTASI MINERBA 2020

Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi industry pertambangan Indonesia, di mana pandemi COVID-19 telah membuat psaar dan harga komoditas tambang mengalami penurunan yang tajam. Para pengamat memprediksi realisasi minerba akan meleset dari target akibat terhambatnya proyek dan aktivitas pertambangan dan memperlambat investasi. Berdasarkan catatan Minerba One Data (MODI) Ditjen Minerba Kementerian ESDM, hingga 23 Agustus tahun ini realisasi investasi baru mencapai US$ 2,1 miliar. Jumlah itu baru setara 27% dari target investasi minerba sebesar US$ 7,75 miliar.

CURRENT PRICES AND THE FUTURE POTENTIAL OF COAL

Pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan konsumsi energi yang berdampak pada turunnya serapan batubara untuk kebutuhan energi di tahun ini. Belum lagi ditambah dengan negara-negara maju yang mulai beralih ke energi bersih, yang artinya konsumsi batubara akan semakin menurun. Sementara itu, penurunan harga batu bara tak lepas dari fundamental pasar yang rapuh baik dari sisi permintaan maupun pasokan.

Turunnya permintaan dan tingginya stok batubara di pasar global berdampak pada tren penurunan Harga Batubara Acuan (HBA) dalam lima bulan terakhir. Pada bulan Agustus 2020 HBA dipatok US$ 50,34 per ton, turun 3,49% dibandingkan HBA bulan Juli 2020 yang sebesar US$ 52,16 per ton.

Terus menurunnya HBA ini tak terlepas dari turunnya harga batubara di pasar internasional di mana HBA mengacu pada empat  indeks,  yaitu  Indonesia  Coal  Index  (ICI),  Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900. Melansir data Refinitiv, harga baru bara melemah 2,57% ke US$ 49,6/ton. Level tersebut merupakan yang terendah sejak April 2016. Untuk diketahui, pada 7 April 2016, harga batu bara menyentuh level US$ 48,5/ton, level tersebut merupakan yang terendah sejak data tercatat di Refinitiv sejak Desember 2008. Itu artinya, batu bara berjarak sekitar 2% dari level terendah tersebut, dan sepanjang tahun sudah ambrol lebih dari 28%.

Dari sisi produksi, Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Situs Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per Rabu (12/08/2020), realisasi produksi batubara Indonesia hingga Juli 2020 mencapai 322,9 juta ton atau 58,7% dari target produksi tahun ini yang dipatok 550 juta ton.

Meski sudah melampaui separuh target, produksi batubara pada Juli terlihat masih lebih rendah dari Juni 2020. Realisasi produksi batubara pada Juli tercatat sebesar 41,11 juta ton, lebih rendah dibandingkan Juni 46,36 juta ton.

Berkaitan dengan hal ini, Indonesian Mining Institute pada 18 Agustus 2020 mengadakan webinar IMI Mining Network dengan topik Understanding Current Prices and Future Potential of Coal”, menghadirkan Ibu Diyana Putri Alan dari IHS Markit selaku key note speaker dan dua panelis, yakni: Bapak Bob Kamandanu (CEO Trafigura) dan Adib Ubaidillah (Direktur Niaga PT Bukit Asam Tbk)

Prof.  Irwandy  Arif,  Ketua  Indonesian  Mining  Institute  menerangkan Indonesia merupakan eksportir terbesar batubara dunia. Akan tetapi, kondisi  pandemi  COVID-19  menyebabkan  penurunan  permintaan global dan berdampak pada penurunan harga batubara memberatkan pelaku  usaha  batubara  di  Indonesia.  Untungnya,  jika  dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki biaya produksi terendah.

Penggunaan batubara secara global masih didominasi untuk sumber energi pembangkit listrik, yakni hampir 70% dari konsumsi batubara dunia. Selebihnya digunakan untuk industri besi-baja, kimia, dan semen. Di Asia, power plant sedang banyak dikembangkan, seperti di China dan India. Sehingga prospek penggunaan batubara untuk PLTU di Asia masih menjanjikan dan konsumsi batubara masih akan terus berjalan. Dari segi harga diprediksi akan ada kenaikan harga pada tahun 2021 dan 2022.

Dalam presentasinya, Ibu Diyana Putri  Alan  menyatakan bahwa COVID-19 ini  memberikan dampak terhadap penurunan permintaan batubara secara global sebesar 91 juta ton pada tahun ini. Hal ini terutama diakibatkan oleh menurunnya permintaan oleh China dan India, yang merupakan importir terbesar dunia. Jika melihat kawasan Asia Tenggara, hanya Vietnam yang tidak menurunkan impor batubaranya. Sedangkan dari sisi supply, diprediksi akan terjadi penurunan. Indonesia sebagai eksportir terbesar di dunia perlu menyesuaikan produksi dengan penurunan sebesar 40 juta ton dari tahun sebelumnya (yoy).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini menargetkan produksi batubara sebesar 550 juta ton. Namun, berdasarkan data impor batubara pada 5 bulan pertama tahun 2019 dan 2020 dari Kementerian ESDM terlihat bahwa terjadi penurunan impor pada lima bulan pertama tahun 2020 sebesar 10% (yoy). Sementara itu, produksi pada bulan Juli mengalami penurunan sebesar 20%.

Dilansir dari data IHS Markit, harga batubara Indonesia (4.200 kc NAR) cenderung lebih tinggi dibandingkan harga batubara dari Australia (5.500 kc NAR) dan Afrika Selatan (4.800 kc NAR). Indonesia diuntungkan dengan lokasinya sehingga biaya pengiriman batubara ke China dan India lebih murah.

Penurunan permintaan yang terjadi disebabkan oleh pembatasan impor di sejumlah negara pengimpor batubara, seperti China. Pada bulan Juli terjadi penurunan impor batubara ke China sebesar 20% atau setara 6,8 juta ton (yoy). Jumlah permintaan China bergantung pada kemampuan produksi domestik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Jika terjadi krisis pasokan maka hal tersebut akan mendukung tingkat impor batubara. Selain itu, ketidakefektifan biaya pendistribusian batubara di China memberikan peluang akan adanya peningkatan impor pada kuartal empat tahun ini. Meskipun demikian, ketidakpastian dalam memprediksi apa yang akan terjadi ke depan masih sangat besar.

Selain China, importir besar batubara Indonesia yaitu India juga tengah berfokus untuk memaksimalkan produksi dalam negeri dan membatasi  impor  batubara. IHS Markit memperkirakan terjadi  penurunan  GDP  India  sebesar  7  %  dan mempertimbangkan pemulihan ekonomi di India masih sulit dibayangkan akan terjadi impor batubara.

IHS market memperkirakan akan terjadi peningkatan permintaan dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, hal ini bergantung dari kebijakan pasar yang akan diberikan. Batubara akan tetap menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan dan supporting energi. Meskipun demikian peningkatan permintaan akan terjadi secara perlahan mengingat dalam waktu dekat ini India belum akan mengimpon batubara dengan skala besar dan juga adanya energi lain seperti gas.

Sementara itu, yang perlu diketahui oleh produsen Indonesia adalah permintaan batubara domestik sangat penting untuk mendukung industri batubara. Pelaku industri batubara Indonesia harus bisa lebih mengandalkan peningkatan permintaan domestik. Pemulihan ekonomi Indonesia menjadi pendorong penting untuk meningkatkan pertumbuhan penjualan domestik.

Bu Diyana memberikan beberapa kesimpulan, di antaranya:

  • Pasar komoditas cenderung berkembang, adalah umum untuk melihat lebih banyak dan lebih banyak konsolidasi dalam hal pasokan.
  • Fragmentasi saat ini dari sisi penawaran versus sisi beli di pasar batubara sangat merugikan Indonesia.
  • Masa depan jangka panjang sektor batu bara tetap cerah, tetapi produsen tidak akan begitu bisa mendapatkan keuntungan jika hanya mempertimbangkan dari sisi upside.
  • Gejolak harga akan tetap ada dan pengurangan pasokan diperlukan untuk mengantisipasi hal tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari potensi pasar batubara yang didukung dengan baik di masa yang akan datang.

Bapak Bob kamandanu, CEO Trafigura, menanggapi thermal coal industry tergantung pada suplai dan permintaan. Saat ini semua pengguna mengalami kontraksi ekonomi termasuk mengurangi kebutuhan listrik. Dan saat ini penurunan masih mungkin terjadi. COVID-19  yang menyerang semua sektor di seluruh dunia, termasuk sektor ekonomi, menyebabkan sulitnya memprediksi kapan dan seberapa cepat recovery akan terjadi. Saat ini banyak produsen batubara yang menjual batubara di bawah biaya produksi, yakni sekitar 27 USD/ton. Oleh karena itu, produsen batubara perlu bekerja sama dengan pemerintah untuk membahas strategi pemulihan yang dapat dilakukan.

Bapak Adib Ubaidillah, Direktur Niaga PT Bukit Asam Tbk menambahkan, berdasarkan data Badan Geologi tahun 2020, total  cadangan  batubara  Indonesia  sebesar  37,6  miliar  ton sedangkan sumber daya batubara saat ini masih sebesar 149 miliar ton. Akan tetapi, kapasitas dan skala produksi batubara Indonesia  masih  kecil.  Tahun  2020  pemerintah  menargetkan produksi batubara sebesar 550 juta ton.

Untuk kebutuhan domestik ditetapkan 155 juta, di mana 108 juta  ton  digunakan  untuk  PLN  namun  setelah  COVID-19 permintaan PLN turun menjadi 87,5 juta ton (turun 20%). Peningkatan permintaan terjadi pada industri smelter, yakni dari 16 juta ton diproyeksikan menjadi 24 juta ton. Permintaan batu bara untuk industri pupuk stagnan pada 1,4 juta ton, industri semen turun menjadi 12,6 juta ton akibat menurunnya kegiatan industri sedangkan untuk industri tekstil stabil dan industri keramik meningkat. Berdasarkan data tersebut, kontraksi ekonomi yang cukup dalam yang mulai dirasakan PTBA sejak bulan Mei dan Juni. Namun pada bulan Juli-Agustus sudah mulai ada tren kenaikan. Dilihat dari serapan batubara, mulai bangkitnya industri, dan adanya stimulus pemerintah, Pak Adib berharap kontraksi pada Q3 yang terjadi tidak sebesar yang terjadi pada Q2 dan rebound bisa terjadi pada Q4.

KESIMPULAN DISKUSI

  • Terkait perubahan pasar batubara yang terjadi akibat pandemi COVID-19 yang saat ini terjadi, Bu Diyana menyatakan bahwa sudah terjadi perubahan yang cukup mendasar. Penurunan harga yang terjadi secara perlahan dan dalam waktu yang cukup lama membuat pasar menjadi lebih volatile. Seperti yang kita ketahui bahwa pasar mulai beradaptasi dengan kondisi saat ini, seperti pelarangan impor batubara oleh China.
  • Pak Bob Kamandanu menyatakan penurunan produksi batubara tentu akan berpengaruh terhadap supply peralatan tambang. Ketika produksi diturunkan maka akan terjadi penurunan fleet yang diperlukan. Produsen perlu melakukan negosiasi ulang dengan pemasok peralatan dan semua kontraktor untuk berdiskusi dan me-review kontrak untuk kepentingan bersama. Semua produsen saat ini dalam kondisi survival mode, yang perlu melakukan efisiensi. Menurunnya harga bahan bakar yang meliputi 40% dari total biaya produksi memberikan keuntungan. Selain itu, bisa juga dilakukan pengaturan ulang jarak antara muat-bongkar atau penurunan SR agar biaya produksi dapat diturunkan.
  • Pak Adib Ubaidillah menyatakan tekanan harga batubara yang terjadi saat ini dan optimasi-efisiensi yang dilakukan tidak boleh menghilangkan good mining practice. Safety, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat adalah harga mati. Efektivitas bisa dilakukan pada aspek lain seperti meminimalisasi travelling expand atau biaya rapat yang bisa dilakukan secara virtual.
  • Seperti yang kita ketahui bahwa harga sangat ditentukan oleh supplay dan demand. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi batubara sebesar 550 juta ton dan sedang proses perubahan RKAB yang dimungkinkan justru ada peningkatan produksi dengan hipotesa tidak akan mempengaruhi harga jika kontrak sudah berjalan. Pak Adib Ubaidillah berpendapat hal tersebut tidak bisa terjadi, kecuali kontrak yang diterapkan sudah menggunakan fix price, tapi jika harga masih menggunakan indeks, harga akan tetap berpengaruh. Pak Bob Kamandanu menambahkan, menurutnya, tidak ada perusahaan yang mau menjual batubara dengan harga rendah seperti saat ini untuk jangka panjang sehingga penambahan jumlah produksi tentu akan tetap berpengaruh terhadap penurunan harga. Ibu Diana beranggapan bahwa peningkatan produksi saat ini belum diperlukan.  Terlebih  Indonesia  merupakan  produsen  batubara  yang  akan  paling  cepat  merespon  perubahan  jumlah permintaan dengan meningkatkan atau menurunkan level produksi batubara.
PELEMAHAN INVESTASI MINERBA 2020

Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi industry pertambangan Indonesia, di mana pandemi COVID-19 telah membuat psaar dan harga komoditas tambang mengalami penurunan yang tajam. Para pengamat memprediksi realisasi minerba akan meleset dari target akibat terhambatnya proyek dan aktivitas pertambangan dan memperlambat investasi. Berdasarkan catatan Minerba One Data (MODI) Ditjen Minerba Kementerian ESDM, hingga 23 Agustus tahun ini realisasi investasi baru mencapai US$ 2,1 miliar. Jumlah itu baru setara 27% dari target investasi minerba sebesar US$ 7,75 miliar.

Ketua  Indonesian  Mining  Institute,  Irwandy  Arif,  menuturkan pandemi   COVID-19   berdampak   pada   investasi   smelter. Menurutnya, apabila pandemi selesai pada pertengahan tahun, maka investasi pada pembangunan fasilitas pemurnian diperkirakan hanya akan terealisasi 50 persen dari rencana yaitu sebesar US$1,9 miliar di tahun ini. Adapun rencana investasi smelter di tahun ini sebesar US$3,7 miliar. Namun jika pandemi berlanjut hingga akhir tahun, investasi smelter tahun ini yang senilai US$3,7 miliar akan bergeser ke tahun 2021.

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan target investasi sektor minerba tahun ini sulit tercapai. Diperkirakan realisasi investasi minerba tahun ini diperkirakan mengalami penurunan sebesar 15 persen hingga 25 persen.
Bahkan menurut direktur Indonesian Mining Institute, Hendra Sinadia, nilai investasi minerba tahun ini bisa turun 60% dari ni lai investasi tahun lalu. Investasi sendiri tentu mempertimbangkan banyak faktor, di antaranya: outlook market dan harga, kebijakan pemerintah, serta apa yang akan terjadi dalam jangka panjang. Selain itu, berkaitan dengan profitabilitas dimungkinkan akan turun 20-50% dari emiten.
Berdasarkan hal tersebut dengan melihat kondisi saat ini cukup berat untuk investasi sehingga hal yang terpenting adalah
bagaimana perusahaan bisa bertahan atau “survival mode” setelah itu baru investasi bisa dilakukan.
 
Survival mode yang bisa dilakukan yakni dengan menurunkan cost, seperti menurunkan stripping ratio. Hal ini tentu akan berimbas pada sektor pendukung terkait seperti kontraktor, lender, shipping dll. Sehingga perlu dilakukan re-negosiasi kepada pihak-pihak terkait tersebut.
 
Dampak kondisi saat ini dan menurunnya harga komoditas tak hanya dirasakan oleh pelaku usaha namun tentu juga dirasakan pemerintah dalam hal pendapatan negara. Oleh karena itu, peran pemerintah juga diperlukan untuk dapat membantu perusahaan tambang agar dapat bertahan. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) berharap pemerintah dapat memberikan toleransi dalam hal pembayaran royalti.
 
Revisi yang diusulkan berupa perubahan formula penghitungan royalti untuk sementara, di mana pembayaran royalti ke pemerintah menggunakan harga jual aktual yang umumnya menggunakan index-linked. Hal itu terjadi akibat semakin melebarnya disparitas selisih antara harga batubara acuan (HBA) dengan harga jual batubara FOB aktual, bahkan ada yang bisa mencapai US$5. Meskipun penerimaan negara akan terganggu namun pemerintah bisa mengharapkan dari efek yang terjadi jika perusahaan bisa bertahan di mana tentu perusahaan akan menghidupkan perekonomian daerah, seperti: menjalankan komitmen pembangunan daerah, lingkungan, dan tenaga kerja.
 
Selain itu, berkaitan dengan kewajiban pemasokan batubara dalam negeri atau DMO (domestic market obligation) sebesar 25%, APBI berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan sanksi atau menurunkan kewajiban DMO menjadi 18%, mengingat saat ini penurunan permintaan batubara tidak hanya terjadi dari pasar ekspor namun juga pasar domestik.
 
Regulasi minerba yang baru disahkan di tengah pandemi pada Juni lalu diharapkan dapat menjadi katalis positif karena kepastian investasi sudah di atur di dalamnya. Hendra Sinadia masih optimis bahwa 10 – 20 dekade ke depan prospek batubara masih menjanjikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *