Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Work Hours
Monday to Friday: 7AM - 7PM
Weekend: 10AM - 5PM
JELANG ERA NEW NORMAL
Meskipun kondisi perekonomian global sedang tidak stabil akibat adanya wabah virus corona (COVID-19), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan bahwa minat investasi ke Indonesia masih tinggi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia mencatat realisasi investasi dalam negeri pada kuartal I/2020 sebesar Rp210,07 triliun dari 25,292 proyek. Angka ini meningkat 8 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
Menurut Kepala BKPM, realisasi investasi baik asing dan dalam negeri, di luar Jawa pada Kuartal I /2020 mengalami peningkatan sebesar 19,3 persen dengan nilai Rp102,4 triliun dari Rp85,8 triliun di tahun sebelumnya. Peningkatan realisasi ini disumbang oleh investasi di Indonesia bagian timur, khususnya peningkatan hilirisasi industri hasil tambang mineral usai pelarangan ekspor bijih nikel di akhir tahun 2019.
Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pembangunan industri dari hulu ke hilir sangat penting dalam menggaet investasi. Sempat terhambat akibat lockdown, pembangunan smelter diharapkan dapat kembali dilanjutkan. Selain hilirisasi, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono mengatakan investasi dalam eksplorasi juga diharapkan dapat ditingkatkan. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk bisa menciptakan iklim investasi khusus eksplorasi yang lebih menarik bagi para investor. Sementara itu, nilai eksplorasi sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar komoditas. Oleh karena itu, IMI Insight kali ini akan membahas kondisi komoditas batubara dan mineral memasuki era new normal.
BATU BARA
Pada kuartal I – 2020, harga komoditas batubara menunjukkan pertumbuhan positif. Dilansir dari minerba.esdm.go.id, Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada bulan Maret 2020 sebesar USD67,08 per ton. Angka ini naik tipis sekitar 0,28% dari bulan Februari yang menandakan bahwa pandemi COVID-19 yang mulai menyerang sejumlah negara belum berdampak signifikan. Di sisi lain, permintaan dari Jepang, India, dan Korea mengalami kenaikan.
Grafik Harga Batubara Acuan Januari 2020 – Juni 2020
Sumber: https://www.minerba.esdm.go.id/harga_acuan (diakses pada tanggal 17 Juni 2020)
Pada bulan April 2020, HBA batubara mengalami sedikit penurunan yang salah satunya disebabkan oleh berkurangnya konsumsi listrik di negara-negara terdampak COVID-19. Meskipun belum banyak terpengaruh, namun kebijakan lockdown di sejumlah negara pengimpor batubara, seperti India dan China, tentu akan mempengaruhi jumlah permintaan batubara. Pasalnya, hampir separuh penjualan ekspor batubara Indonesia tertuju ke dua negara itu.
Memasuki bulan Mei, banyak negara mulai melonggarkan lockdown dan pembatasannya. Aktivitas ekonomi secara bertahap berangsur pulih walaupun protokol kesehatan masih tetap dijalankan. Harapannya, hal ini dapat membawa kabar baik bagi harga komoditas di pasar.
Sayangnya, kenyataannya tidak demikian. Memburuknya harga komoditas batubara di bulan Mei 2020, kemungkinan disebabkan oleh hubungan Australia dengan China yang mulai retak sehingga memunculkan ketidakpastian baru sehingga membuat pasar mulai mengkhawatirkan permintaan batubara China.
Keretakan hubungan bilateral keduanya diawali ketika Australia menjadi salah satu negara yang mendukung adanya investigasi independen terkait asal muasal pandemi COVID-19. Tak berapa lama setelah itu, China memutuskan untuk memberikan sanksi dagang berupa bea impor untuk produk barley dari Australia. Tensi hubungan bilateral keduanya yang meninggi tentunya akan memicu kecemasan bahwa poros perang dagang baru akan terbentuk dan akan merembet ke komoditas selain barley, seperti batubara.
Kecemasan ini semakin dirasakan oleh pengusaha batubara, sejak adanya isu dikeluarkannya kebijakan pemerintah China dan India, sebagai importir batubara terbesar untuk melakukan pembatasan impor batubara dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan batubara domestik.
Dengan adanya kebijakan ini, beberapa negara pemasok batubara ke China seperti Australia, Indonesia, dan Rusia akan mengalami ancaman dalam hal ekspornya. Total volume ekspor Indonesia sebagai salah satu negara eksportir batubara selain Australia, pada 5 bulan pertama tahun ini tercatat hanya mencapai 175,15 juta ton. Selanjutnya, volume impor batu bara China pada bulan Mei 2020 telah turun 20% dibanding periode yang sama tahun lalu. Padahal jumlah permintaan untuk pembangkit listrik dan kebutuhan industri mulai membaik. Tidak hanya China, penurunan permintaan batubara juga telah terjadi di Korea Selatan, Philipina, dan Jepang.
Pada bulan Juni 2020, pemerintah Indonesia sudah mulai menerapkan tatanan normal baru atau era new normal, meskipun jumlah kasus baru infeksi COVID-19 masih menunjukkan peningkatan.
Salah satu yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan hal ini adalah kondisi ekonomi Indonesia yang terlihat sudah begitu mengkhawatirkan. Sehingga dengan adanya era new normal ini diharapkan kegiatan ekonomi dapat naik perlahan.
Sayangnya, kondisi harga batubara pada era new normal ini malah menunjukkan penurunan. Harga batubara secara global ini terus berlangsung turun bahkan mencapai level terendahnya sejak 11 Mei 2020. HBA pada bulan Juni mengalami penurunan sebesar 13% dari bulan Mei menjadi 52,98 USD/ton. Kondisi ini disebabkan masih rendahnya permintaan akibat kebijakan pembatasan impor sehingga oversupply masih terjadi. Selain itu, menurunnya permintaan batubara juga disebabkan berbagai dorongan publik untuk beralih ke energi alternatif yang lebih environmentally friendly.
Jika China masih memberlakukan pembatasan impor kedepannya, tidak menutup kemungkinan volume impor China pada bulan Juli diperkirakan akan anjlok 25% dibanding periode yang sama di tahun 2019. Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memperkirakan ekspor batubara RI tahun ini mencapai 435 juta ton, lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 458,8 juta ton
Oleh karena itu, saat ini, Indonesia juga sedang melakukan penjajakan untuk melakukan ekspor ke beberapa negara berkembang lainnya, seperti Vietnam, Bangladesh, dan Pakistan. Selain itu, Indonesia juga akan melakukan peningkatan efisiensi rantai suplai batubara ke negara importir serta melakukan direct contract atau direct shipping ke negara-negara importir.
Penurunan permintaan batubara juga terjadi di dalam negeri. Konsumsi pelanggan rumah tangga meningkat, sedangkan pelanggan industri dan bisnis menurun sangat tajam. Di Pulau Jawa, penurunan konsumsi listrik selama pembatasan social berskala besar (PSBB) mencapai hampir 10 persen. Bahkan pembangkit listrik negara di Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN), telah mengurangi perkiraan untuk pembakaran batubara pada tahun 2020 sebesar 5-8 juta ton (109 juta ton menjadi 104 juta ton). Jika kondisi saat ini bertahan sepanjang tahun, PLN sedang mempertimbangkan untuk mengurangi 2 GW kapasitas atau sekitar 8 juta ton / tahun. Ini akan sangat membebani produsen Indonesia, yang beberapa di antaranya memfokuskan penjualan di pasar domestik, mengingat harga batubara yang lemah dan permintaan batubara global yang berkurang di tengah pandemi COVID-19.
Meskipun batubara mengalami oversupply, namun hingga saat ini belum ada perusahaan tambang batubara yang mengajukan revisi RKAB. Sebagai informasi, berdasarkan data MODI ESDM per 17 Juni 2020, realisasi produksi batubara sebesar 248,14 juta ton atau 45,12% dari rencana produksi sebesar 550 juta ton. Realisasi volume ekspor batubara sebesar 131,92 juta ton atau hanya 33,4% dari total rencana ekspor sebesar 395 juta ton. Sedangkan realisasi domestik sebesar 82,74 juta ton. Sementara itu, realisasi penggunaan batubara untuk kepentingan domestik (Domestic Market Obligation/DMO) hingga kuartal I mencapai 31,53 juta ton dan pada bulan Mei mencapai 53,55 juta ton. Secara rerata bulanan, terjadi sedikit peningkatan jumlah DMO. Dirasa masih on the track, ESDM memproyeksikan target produksi nasional 550 juta ton dapat terealisasi.
Sejalan dengan Indonesia, Australia juga tidak terlihat ada rencana untuk menurunkan volume produksi. Bahkan, beberapa pengapalan terakhir serta harga untuk Mei sudah menyentuh harga di bawah US$50. Oleh karena itu, over supply dimungkinkan masih terus terjadi dan semakin menekan harga.
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpendapat tertekannya harga batubara justru mendorong sebagian besar perusahaan lebih berkompetisi sekadar untuk mendapatkan pasar walaupun dengan harga yang cukup rendah, bisa jadi mengarah di bawah USD 50 per ton. Berikut kondisi beberapa perusahaan tambang di Indonesia:
Sebelumnya PTBA membuka opsi untuk melakukan revisi Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Namun, melihat situasi saat ini yang mulai gencar mengkampanyekan new normal dan optimisme PTBA bahwa COVID-19 yang akan mereda membuat PTBA mengurungkan niatnya untuk melakukan revisi RKAB. Pihaknya pun berencana akan mengoptimalkan produksi dan penjualan di semester II 2020 untuk menutupi kekurangan pada semester I.
Sebagai informasi, emiten pelat merah ini mematok target produksi batubara sebesar 30,3 juta ton untuk tahun 2020 dengan target penjualan sebesar 29,9 juta ton. Dimana terdapat penjualan batubara domestik sebesar 21,6 juta ton dan penjualan batubara ekspor sebesar 8,3 juta ton. Selain itu, PTBA juga tetap mempertahankan alokasi belanja modal atau capital expenditure (capex) senilai Rp4 triliun. Namun, Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan bahwa pihaknya tetap akan menyiapkan rencana cadangan jika pandemi COVID-19 tidak segera teratasi hingga September 2020.
Emiten grup Sinarmas yaitu PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) hingga saat ini belum membuka opsi untuk melakukan revisi target produksi dan masih terus berupaya untuk mencapai target produksi yang sudah dipatok sebelumnya yaitu 27,2 juta ton batubara pada tahun 2020. GEMS menilai sejauh ini kegiatan produksi masih sejalan dengan rencana. Pada kuartal I 2020, GEMS berhasil mencatatkan produksi sebesar 8,4 juta ton batubara atau secara persentase tumbuh 18% (yoy).
PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebagai salah satu emiten raksasa tanah air hingga saat ini juga belum berencana untuk melakukan revisi RKAB. Sebagai informasi, BUMI pada tahun ini mematok target produksi sebesar 85 juta ton – 90 juta ton pada tahun 2020. BUMI pun masih cukup optimis jika berkaca pada kuartal I 2020, BUMI mampu BUMI mencatatkan pertumbuhan produksi sebesar 3% (yoy) menjadi 21,5 juta ton. BUMI masih akan fokus untuk mengejar target yang dipatok sembari fokus mengurus perpanjangan izin Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara dua anak usahanya PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Saat ini kondisi pasar kelebihan pasokan sehingga harga komoditas terus tertekan. Hal ini mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam mengelola cash Low. Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) meminta relaksasi dan keringanan kepada pemerintah dengan alasan industri terdampak pandemi COVID-19. Sejumlah perusahaan batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) meminta relaksasi dan keringanan kepada pemerintah dengan alasan industri terdampak wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Ada tiga hal mereka usulkan, pertama, penentuan harga batubara sesuai harga pasar atau harga aktual, kedua penundaan pembayaran royalti, dan ketiga, penurunan persentase kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dari 25% jadi 18%. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, pemerintah tak bisa mengikuti usulan APBI untuk gunakan harga pasar atau harga aktual dalam perhitungan royalti. Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 1823 lampiran III huruf C13 yang menyatakan, harga perhitungan royalti menggunakan harga lebih tinggi antara harga patokan dengan harga jual. Aturan ini guna menghindari ada transfer pricing, di mana beberapa pemegang izin sering transaksi antarperusahaan yang berafiliasi.
Untuk permintaan penundaan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dalam beleid sama dinyatakan, kekurangan royalti harus dibayarkan 30 hari kalender sejak dikeluarkannya dokumen bukti pengapalan. Aturan ini untuk menghindari pemegang izin menunggak pembayaran iuran produksi atau royalti hingga PNBP sebagai hak negara, tertunda.
Ke depan, pemerintah akan mempercepat peran batubara sebagai economic booster dengan terus memperbesar kebutuhan batubara dalam negeri. Selain itu, juga akan mempercepat implementasi teknologi batubara seperti gasifikasi dan likuifaksi batubara, agar nilai karbon yang terkandung dalam batubara dapat dimanfaatkan optimal.
Grafik Harga Mineral 01 Januari 2020 – 02 Juni 2020
Sumber: London Metal Exchange (diakses tanggal 03 Juni 2020)
Pandemi COVID-19 pertama kali menyerang Wuhan, China, pada bulan Desember 2019, namun pemerintah China baru menerapkan lockdown pada 23 Januari 2020. Seiring dimulainya lockdown di China, tren harga komoditas hampir seluruhnya kompak, kecuali emas, mengalami penurunan dan berada pada level terendah pada Bulan Maret. Penurunan harga komoditas logam ini dikarenakan sejumlah negara seperti India, mulai menerapkan kebijakan lockdown.
Pelonggaran lockdown dan penerapan new normal di sejumlah negara diharapkan mampu mendorong permintaan komoditas dan mendongkrak harga. Grafik harga komoditas pada London Metal Exchange 01 Januari 2020 – 17 Juni 2020 menunjukkan bahwa memasuki bulan April – Mei harga komoditas memperlihatkan tren positif. Membaiknya harga pada awal Mei dipengaruhi oleh faktor rebound karena harga sudah mencapai level terendahnya pada Bulan Maret lalu.
Emas
Penyebaran virus COVID-19 memperparah sentimen pasar terhadap kondisi perekonomian global. Dalam masa ketidakpastian seperti pada masa pandemi yang sedang terjadi saat ini, emas disebut-sebut sebagai safe haven bagi investor yang mencari perlindungan dari investasi yang lebih volatil secara tradisional, seperti saham. Ketakutan investor terhadap wabah virus COVID-19 memicu aksi jual di pasar ekuitas. Kebijakan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS juga turut mendongkrak harga emas ke level tertinggi. Demikian juga dengan laporan beberapa pertambangan emas dan pabrik pengolahan emas global yang operasinya terganggu oleh COVID-19, sehingga mengurangi pasokan fisik logam mulia dan menawarkan tren kenaikan harga emas.
Penurunan harga emas pada Bulan Maret lalu terjadi karena investor terpaksa menjual logam dan mengambil keuntungan, agar dapat menutupi kerugian di tempat lain, atau dikenal sebagai margin call. Selain itu, penurunan juga terjadi akibat menguatnya dollar AS di tengah para pelaku pasar mengukur potensi dampak ekonomi global dari krisis COVID-19. Kini kurva harga emas sudah kembali meningkat bahkan jauh melampaui harga pada awal tahun 2020.
Mengacu pada data MODI ESDM, total produksi per 17 Juni 2020 lalu, hanya mencakup 14,41% dari rencana produksi 2020, yakni sebesar 70,60 ton. Sedangkan total penjualan emas sebesar 14,36% dari rencana penjualan 72,02 ton.
Skenario new normal dengan menerapkan protokol penanganan COVID-19 merupakan langkah strategis yang diambil agar roda perekonomian lokal dan nasional dapat terus bergerak, produktif, dan terjaga kestabilannya. PT Freeport Indonesia telah menerapkan berbagai upaya mitigasi dengan melipatgandakan protokol kesehatan di area kerja sejak Maret lalu.
Tahun ini, PTFI pun masih mempertahankan proyeksi produksi bijih di level 96.000 ton per hari sekalipun corona mengancam. Produk bijih tersebut terdiri dari mineral tembaga, emas, dan perak. Produksi bijih PTFI juga masih diperkirakan meningkat di tahun 2021 menjadi 160.000 ton per hari, kemudian di tahun 2022 menjadi 216.000 ton per hari, dan di tahun 2023 naik menjadi 217.000 ton per hari.
Sementara itu, produsen emas Indonesia lainnya seperti PT Bumi Resources Mineral menunjukkan peningkatan di sisi produksinya. Anak usahanya, PT Citra Palu Minerals (CPM) telah melakukan pengiriman dore bullion yang pertama dari fasilitas produksinya di Poboya, Palu, Sulawesi Tengah ke Fasilitas Pemurnian Logam Mulia di Jakarta. Selain itu, PT Merdeka Copper Gold Tbk., tengah mematok target produksi emas pada tahun ini sekitar 165.000 hingga 185.000 ounce (oz) dengan biaya pendukung tetap sekitar US$650 hingga US$750 per ounce bersih yang berasal dari kredit perak di tengah tren penguatan harga emas.
Sumber: https://rakyatntt.com/naik-rp-32-ribu-harga-emas- antam-kini-rp-963-ribu-per-gram/
Harga emas sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar global sehingga sangat sulit untuk diprediksi nilainya. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi harga emas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti: dolar AS, permintaan investasi, pembelian bank sentral, volume perdagangan di COMEX, indikator teknis, pasokan tambang baru, serta faktor ekonomi dan moneter. Sejauh ada ketidakpastian yang lebih besar mengenai prospek pertumbuhan ekonomi, termasuk dari COVID-19, dan jika suku bunga rendah berlaku, harga emas mungkin akan terus naik. Semakin banyak berita negatif tentang pertumbuhan ekonomi, semakin besar kenaikan harga emas.
Penyebaran COVID-19, menyebabkan aktivitas produksi barang elektronik, yang mana membutuhkan komponen timah dalam proses produksinya, sempat terhenti. Emiten plat merah PT Timah mengurangi produksi bulanan berkisar 20% hingga 30% sejalan dengan penurunan harga timah. Harga anjlok karena permintaan juga melandai diterpa dampak penyebaran COVID-19. Padahal PT Timah menargetkan kenaikan produksi sebesar 5% pada tahun ini. Sementara itu, tambang timah dan smelter milik Taboca di Brazil sempat menghentikan sementara operasi karena penyebaran virus corona pada periode Maret.
Selama pandemi virus corona, operasional perusahaan dengan kode emiten TINS ini terus berjalan dan kemitraan dengan penambang rakyat masih berjalan dengan baik. Hal ini perlu dipastikan untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat di tengah menghadapi COVID-19. Meskipun demikian, produksi bijih maupun logam timah pada kuartal I pun mengalami penurunan dan lebih rendah dari rencana.
Memasuki Bulan April, harga timah di pasar dunia mulai membaik karena adanya penurunan stok di London Metal Exhange (LME). Selain itu, industri di beberapa negara Asia sudah mulai beroperasi di tengah pendemi virus corona. Dalam keterangan resminya, International Tin Association mengatakan bahwa dengan terkendalinya pandemi COVID-19 di China, perusahaan hilir timah pun hampir sepenuhnya telah memulai kembali produksi secara penuh. Dengan demikian, konsumsi timah dalam negeri pun mengekor untuk ikut pulih.
Menurut data Pemerintah China, impor timah dalam konsentrat untuk periode Maret 2020 naik 11 persen (year on year), menjadi 4.000 ton. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau sebanyak 3.700 ton berasal dari Myanmar, naik 19 persen secara tahunan. Kendati capaian periode Maret cukup positif, impor timah konsentrat mengalami penurunan hingga 13 persen untuk sepanjang kuartal I/2020. Pada tiga bulan pertama tahun ini, impor timah konsentrat oleh China hanya mencapai 11 ribu ton, di mana sebanyak 9.900 ton berasal dari Myanmar. Adapun impor timah rafinasi berasal dari Indonesia berjumlah 1.075 ton, sedangkan Thailand dan Malaysia masing-masing adalah 59 ton dan 20 ton.
Menghadapi new normal, PT Timah melakukan sejumlah langkah antisipatif terkait penanganan COVID-19. PT Timah merespon dengan cepat terkait perkembangan kasus COVID-19 di wilayah operasional perusahaan dengan melakukan sejumlah langkah nyata penanganan COVID- 19.
Analis Central Capital Futures, Wahyu mengatakan, timah memiliki stabilitas pasokan dan permintaan yang terbilang masih cukup terkendali. Apalagi didukung dengan adanya teknologi terbaru. Imbasnya, konsumsi timah dari sektor solder juga akan mengalami peningkatan. Di samping itu, adanya kesepakatan pemangkasan produksi timah antara
China dan Indonesia sebesar 30.000 ton yang telah disetujui pada akhir tahun 2019 juga menjadi sentimen positif untuk harga timah ke depan. Meskipun demikan, harga timah cenderung masih akan volatile hingga akhir tahun nanti.
Pandemi yang melanda dunia hingga saat ini memang mengakibatkan perlambatan perekonomian regional dan global yang berdampak pula pada turunnya permintaan bahan baku logam bukan besi (non-ferrous metal), seperti: nikel, sebagai akibat dari terhentinya kegiatan pada beberapa produsen logam sehingga menurunkan permintaan. Penurunan harga nikel juga disebabkan oleh penurunan produksi nikel nasional yang menyebabkan pembatasan tenaga kerja dan wilayah operasi, serta penghentian operasi sejumlah perusahaan smelter. Kegiatan pembangunan smelter juga terhenti akibat wabah COVID-19 di China yang berakibat pada terhentinya pengiriman peralatan, tenaga kerja, dan pencairan dana pembangunan.
Memasuki Bulan April harga nikel mengalami rebound akibat pulihnya aktivitas industri. Setelah Pemerintah melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penerapan new normal, pekerja asing siap didatangkan kembali sebagai tenaga ahli untuk lanjut menggarap proyek smelter. PT Kapuas Prima Coal menyambut baik adanya new normal, pelonggaran ini akan mempermudah lalu lintas orang dan barang, sehingga proyek zinc yang tertunda selama pandemi dapat dikejar.
Begitu pula dengan salah satu ekspansi bisnis yang masih bergulir adalah proyek smelter di Pomalaa dan Bahodopi PT Vale Indonesia. Smelter ini membutuhkan dana investasi sekitar US$ 5 miliar dan akan menghasilkan produk olahan nikel matte. Rencana ekspansi bisnis tetap berjalan dan target final investment decision (FID) masih sama di kuartal I- 2021.
Terkait new normal, PT Vale akan tetap memberlakukan protokol kerja yang sudah diterapkan saat ini. Social distancing dalam transportasi maupun di tempat kerja akan terus diterapkan dan protokol untuk menjaga kebersihan di tempat kerja juga akan diteruskan. Untuk pekerja yang masih bisa meneruskan bekerja secara jarak jauh (remote) tanpa mengganggu efektivitas kerja, maka akan terus bekerja secara remote untuk mengurangi paparan risiko COVID-19. Selain itu, divestasi 20% saham INCO kepada MIND ID diharapkan bisa mencapai definitive agreement pada bulan ini, yang sudah mundur satu bulan dari rencana awal.
Sementara itu, PT Aneka Tambang atau Antam akan fokus memelihara produksi tambang andalan dan mendiversifikasi pasar ekspor, sebagai strategi menghadapi pandemi virus corona atau COVID-19. Salah satu strategi yang diambil perseroan di tengah pandemi corona adalah mengoptimalkan produksi nikel. Tambang nikel yang menjadi andalan adalah, tambang feronikel di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
PT Aneka Tambang (Antam) menjajaki peluang pasar baru untuk ekspor feronikel ke Eropa. Hal tersebut dilakukan lantaran penjualan ke pasar tradisional, khususnya India, mengalami hambatan akibat pandemi COVID-19. Namun penjualan bijih nikel Antam untuk pasar domestik belum menunjukkan capaian yang signifikan. Kata Aprilandi, pihaknya masih bernegosiasi dengan para pemilik smelter agar membeli bijih nikel sesuai Harga Patokan Mineral (HPM).
Ke depan, nikel masih memiliki prospek yang menjanjikan di waktu yang akan datang. Sebab, nikel menjadi salah satu bahan dasar untuk membangun mobil listrik. Sehingga, harga nikel berpotensi untuk kembali terangkat, terlebih setelah pandemi COVID-19 usai.
Harga tembaga memuncak pada Januari 2020 di level tertinggi setelah perang dagang AS-China surut, kemudian jatuh 27% ke level terendah sejak tiga tahun terakhir di bulan Maret. Hal ini disebabkan karena investor menimbang dampak dari penurunan permintaan selama lockdown akibat COVID -19, tak terkecuali China yang lebih dulu menerapkan lockdown sejak akhir Januari lalu. China yang merupakan konsumen tembaga terbesar dunia, menyumbang sekitar 50 persen terhadap permintaan logam tembaga dunia untuk industri manufaktur serta melemahnya aktivitas ekonomi China mengakibatkan penurunan permintaan tembaga dunia. Lockdown akibat wabah pandemi COVID-19 menyebabkan terganggunya produksi tembaga dan penutupan tambang di Peru, Chili, Meksiko, dan Kanada yang menyebabkan pengurangan volume supply yang signifikan dari pasar, namun belum mampu mengangkat harga pasar.
Pada bulan April, rebound terjadi di pasar ekuitas akibat gangguan defisit pasokan tambang dan adanya pelonggaran lockdown mampu meningkatkan permintaan sehingga mendorong kenaikan harga tembaga. Tren positif masih ditunjukkan hingga bulan Juni ini, hal ini ditunjukkan dengan grafik harga tembaga pada London Metal Exchange per 17 Juni 2020. Akan tetapi, potensi kenaikan lebih lanjut akan tergantung pada rebound dalam aktivitas industri dalam beberapa bulan mendatang, khususnya di China.
Berdasarkan data MODI ESDM per tanggal 17 Juni 2020, realisasi produksi tembaga Indonesia mencapai 40,43% dari total rencana produksi tahun 2020 sebesar 291.000 ton. Sedangkan realisasi penjualan baru mencapai 20,43% dari total rencana penjualan 296.000 ton. Produsen tembaga terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengantongi rekomendasi ekspor atau Surat Persetujuan
Ekspor (SPE) baru untuk setahun ke depan dimana PTFI mendapatkan kenaikan kuota ekspor konsentrat tembaga. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah rekomendasi yang diberikan sebanyak 1.069.000 wet ton konsentrat tembaga. Kuota ekspor tersebut berlaku selama satu tahun sejak terbit pada 16 Maret 2020.
Sementara itu, produsen tembaga di Indonesia lainnya, PT Amman Mineral mendapatkan kenaikan kuota ekspor menjadi 373.626 wet ton konsentrat tembaga. SPE baru itu diberikan pada 17 Maret 2020 untuk periode setahun ke depan dimana pada tahun sebelumnya kuota ekspor berada di angka 336.100 wet ton. Adapun, tujuan ekspor AMNT berada di negara-negara Asia Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan dan Filipina dan tujuan domestic yakni ke PT Smelting Gresik.
Sementara itu, new normal penambangan terjadi di sejumlah negara. Meskipun masih menerapkan lockdown, namun aktivitas penambangan di Peru yang merupakan salah satu produsen tembaga terbesar dunia sudah mulai beroperasi. Dimulainya
kembali operasi akan dilakukan secara bertahap, dengan fase pertama dimulai pada Mei dan berakhir pada Agustus. Selama
uji coba awal ini, perusahaan wajib menerapkan protokol kesehatan dan keselamatan yang ketat untuk mencegah penyebaran infeksi. Otoritas kesehatan akan melakukan inspeksi rutin di pabrik dan lokasi tambang untuk memantau kepatuhan. Kembalinya aktivitas tambang tembaga di dunia diharapkan diimbangi pula dengan peningkatan permintaan tembaga agar tidak terjadi over supply yang justru dapat menjatuhkan harga.
Konsumen tembaga terbesar di dunia, Cina, diperkirakan akan mendorong kenaikan harga tembaga dengan rencananya untuk berinvestasi dalam infrastruktur. Dan permintaan global untuk tembaga diperkirakan akan terus tumbuh dengan meningkatnya produksi kendaraan listrik dan peralatan energi terbarukan, yang membutuhkan kabel tembaga jauh lebih banyak daripada sistem berbasis bahan bakar fosil. Sulit untuk mengganti tembaga dengan logam lain karena konduktivitas listriknya yang tinggi. Akan tetapi, untuk saat ini, sinyal momentum turun masih tertanam kuat. Pemulihan harga logam tetap bergantung pada prospek permintaan, yang tetap sangat tidak pasti.