Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Work Hours
Monday to Friday: 7AM - 7PM
Weekend: 10AM - 5PM
Pada tanggal 10 Juni 2020 presiden telah menandatangani RUU menjadi UU dan di tanggal yang sama, langsung pula diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan nomor undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelumnya, pada tanggal 12 Mei 2020, di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) yang kini tengah menghantam Indonesia, DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang telah diinisiasi sejak tahun 2015. Dalam RUU Minerba ini terdapat perubahan besar yang meliputi penambahan 2 bab baru hingga menjadi 28 Bab dan perubahan terhadap 83 pasal, penambahan 51 pasal baru dan sebanyak 9 pasal yang dihapuskan.
Sumber: https://www.acq-intl.com/kettani-law-firm-leading-law-firm-in-morocco/
Dalam tulisan kali ini, tim penulis akan coba membahas mengenai beberapa hal penting yang diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 sebagai dasar hukum yang kuat dalam menyelesaikan dan menengahi isu-isu di sektor pertambangan. Beberapa hal penting yang telah diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 yaitu penyelesaian permasalahan antarsektor, penguatan konsep wilayah pertambangan, memperkuat kebijakan nilai tambah, mendorong kegiatan eksplorasi untuk penemuan deposit minerba, pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan (SIPB), reklamasi dan pascatambang, serta jangka waktu perizinan untuk IUP atau IUPK yang reintegrasi serta kelanjutan operasi KK/PKP2Kehadiran UU No 3 Tahun 2020 atau UU Minerba baru, diapresiasi oleh kalangan pelaku usaha karena UU tersebut menjamin kepastian usaha dan investasi baik bagi pemegang KK, PKP2B dan juga pemegang IUP dan IUPK. Pelaku usaha yang diwakili asosiasi, optimis UU Minerba yang baru dapat mendorong investasi dan menjadi sentimen positif di tengah kondisi perekonomian yang dilanda resesi akibat pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat yang merasa tidak puas, telah mengajukan permohonan uji materi dan uji formil atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam beberapa bulan ke depan, perdepan dan diskursus di publik soal keberadaan UU Minerba baru akan menyita perhatian publik. Sementara itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM terus mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No 3 Tahun 2020.
Pada tanggal 12 Mei 2020, di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) yang kini tengah menghantam Indonesia, DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi UU No 3 Tahun 2020. Dalam UU No 3 Tahun 2020 ini terdapat perubahan besar yang meliputi penambahan 2 bab baru hingga menjadi 28 bab dan perubahan terhadap 83 pasal, penambahan 51 pasal baru dan sebanyak 9 pasal yang dihapuskan.
Pengesahan Undang – undang ini menghadirkan kontroversi dari berbagai pihak. Ada pihak yang berpendapat bahwa pengesahaan ini terlalu terburu-buru padahal kondisi negara saat ini sedang fokus dalam penanganan wabah COVID-19 yang dinilai lebih urgent. Akan tetapi, pemerintah menegaskan bahwa penyusunan RUU Minerba ini sudah melewati proses yang panjang. Penyusunan RUU Minerba telah dilakukan DPR sejak tahun 2015. RUU Minerba juga telah masuk Prolegnas 2015- 2019 dan setiap tahunnya selalu masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Akhirnya, pada tanggal 10 Juni 2020 presiden telah menandatangani RUU menjadi UU dan di tanggal yang sama, langsung pula diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan nomor undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 2020. UU No 3 Tahun 2020 ini diharapkan dapat memberikan perubahan positif pada kondisi usaha pertambangan di Indonesia. Selain itu, UU Minerba yang baru ini juga diharapkan dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam menyelesaikan dan menengahi isu-isu di sektor pertambangan.
Berikut beberapa hal penting yang telah diatur di dalam UU No 3 Tahun 2020, seperti:
Penyelesaian Permasalahan Antar Sektor
Aktivitas dalam sektor pertambangan tentunya tidak dapat berjalan sendirian. Artinya kegiatan pada sector ini masih berkaitan dengan sektor lainnya. Tidak heran jika permasalahan antarsektor masih menjadi isu di Indonesia. Hasil survei Mining Investment and Governance (MinGov) yang pernah dilakukan oleh Indonesian Mining Institute dan Worldbank pada tahun 2018 juga menunjukkan bahwa koordinasi dan peraturan/kebijakan lintas sektor di Indonesia masih dinilai rendah dan membutuhkan ruang perbaikan agar dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil survei ini, menunjukkan bahwa dalam praktinya, ada beberapa masalah yang terjadi antara otoritas pertambangan dengan otoritas lainnya seperti masalah penggunaan lahan, pelestarian dan perlindungan kawasan hutan dengan otoritas perlindungan lingkungan serta masalah izin usaha industri dengan otoritas fiskal.
Isu ini menjadi sorotan dan konsern bagi pemerintah. Pemerintah berharap melalui UU No 3 Tahun 2020 ini,pemerintah dapat memberikan kepastian solusi dalam penyelesaiannya. Sehingga, dalam UU ini pemerintah telah mengatur mengenai jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan dan jaminan kepastian untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan pembaharuan aturan terkait kegiatan pengolahan dan pemurnian, di mana saat ini Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat bekerja sama dengan pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan/atau Pemurnian secara terintegrasi atau pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengolahan dan/atau Pemurnian yang tidak terintegrasi dengan kegiatan penambangan.
Aturan ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam penyelesaian permasalahan antar sector sehingga harmonisasi antar lintas sector dapat terjalin. Selain itu, dengan adanya kepastian hukum yang diberikan pemerintah, seharusnya dapat mengurangi ego antar sektoral. Disisi industry, tentunya aturan ini telah memberikan kepastian untuk menjalankan usahanya.
Penguatan konsep wilayah pertambangan
Tata ruang menjadi salah satu isu yang membutuhkan ruang perbaikan khususnya di sektor pertambangan. Salah satu kendala pertambangan dalam tata ruang yaitu UU tata ruang masih mengandalkan parameter ketinggian bagi keberadaan kawasan hutan lindung dan konservasi, di mana pada ketinggian tersebut juga merupakan lokasi sumber daya bahan tambang yang menjadi sumber kekayaan negara ditemukan, sehingga dapat menimbulkan konflik pemanfaatan ruang yang akhirnya optimalisasi sumber daya menjadi tidak optimal. Selain itu, penetapan zonasi kawasan peruntukan pertambangan di dalam kawasan budi daya dapat tumpang tindih dengan peruntukan lain.
Sehingga, hal ini sangat penting untuk diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 karena selama ini kementerian telah menghadapi hambatan dari sisi tata ruang. Dalam UU No 3 Tahun 2020, Pemerintah telah membuat aturan mengenai konsepsi wilayah hukum pertambangan yaitu seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
Selain itu, pemerintah juga mengatur kedudukan wilayah pertambangan yang dulunya sebagai bagian dari tata ruang nasional dan dalam UU No 3 Tahun 2020 menjadi sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan. Kegiatan Penyelidikan dan Penelitian juga telah diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 di mana Pemerintah Pusat berwenang untuk melakukan kegiatan ini pada seluruh wilayah hukum pertambangan.
Harapannya, dengan adanya aturan ini, dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi di Indonesia. Aturan ini juga telah memberikan jaminan kepada pengusaha tambang dan investor akan keberadaan dan posisi sector tambang.
Sumber: https://duniatambang.co.id/
Memperkuat kebijakan Peningkatan Nilai Tambah (PNT)
Peningkatan nilai tambah mineral dan batubara merupakan bentuk nyata agar pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara dapat dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945. Kewajiban peningkatan nilai tambah telah diatur di dalam UU No 4 Tahun 2009. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM
(Permen ESDM) untuk terus mendukung progres peningkatan nilai tambah mineral di Indonesia. Peraturan ini telah berhasil mendorong pembangunan smelter tiap tahunnya meskipun pertumbuhannya dinilai cukup lamban.
Dalam usulan Pasal 102 UU No 3 Tahun 2020 disebutkan kewajiban untuk membangun smelter bagi penambang berdasarkan peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan pasar. Selain itu, pemerintah lebih memperjelas mengenai kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah. UU No 3 Tahun 2020 mewajibkan melakukan PNT bukan hanya untuk komoditas mineral dan batubara saja, tetapi juga untuk komoditas tambang batuan.
Selain itu, pemerintah juga telah mengatur secara jelas, proses yang harus dilakukan oleh perusahaan berdasarkan komoditasnya dalam upaya peningkatan nilai tambah seperti wajib melalui pengolahan dan pemurnian untuk tambang mineral logam. Sedangkan untuk komoditas mineral bukan logam hanya perlu dilakukan pengolahan saja. Di sisi lain, pemerintah juga telah mengatur proses peningkatan nilai tambah untuk komoditas batubara melalui pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara.
Aturan ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan smelter di Indonesia yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya nilai investasi di sector pertambangan. Selain itu, juga diharapkan agar keberadaan smelter tidak hanya sebagai formalitas tetapi mampu memberikan dampak terhadap peningkatan nilai tambah pada komoditas. Dengan demikian, akan tercipta industry pertambangan yang mandiri atau tidak selalu bergantung dengan pasar luar negeri. Tentunya, hal ini juga perlu didukung dengan kondisi industri dalam negeri dalam menyerap hasil pengolahan dan/atau pemurnian mineral dan batubara.
Mendorong Kegiatan Eksplorasi untuk Penemuan Deposit Mineral dan Batubara
Indonesia secara teknis (geologi) masih sangat berpotensi untuk ditemukannya deposit minerba. Meskipun tingkat kesulitan eksplorasi semakin tinggi, maka “success ratio” semakin kecil. Sayangnya, masalah atau isu terkait eksplorasi lebih banyak muncul dari aspek non-geologi di antaranya: izin kehutanan (IPPKH), keamanan, penambangan tanpa izin (PETI) dan juga implementasi regulasi.
Sejak tahun 2012, baik di tingkat global maupun di Indonesia, jatuhnya harga komoditas yang terus berlanjut menyebabkan keengganan untuk berinvestasi dalam eksplorasi dan pengembangan. Hal ini juga disertai dengan ketidakpastian yang terus menerus dalam lingkungan peraturan pertambangan. Berkurangnya hasrat berinvestasi kemungkinan telah mengurangi tingkat eksplorasi, produksi, pendapatan pemerintah, dsb.
Selain itu, berkurangnya pengeluaran ekplorasi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir merupakan tanda yang mengkhawatirkan karena pengeluaran eksplorasi adalah sumber kehidupan sektor pertambangan. Rendahnya aktivitas eksplorasi
greenfield juga akan menjadi ancaman signifikan terhadap keberhasilan jangka panjang industri pertambangan. Hal tersebut tentunya dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Peningkatan dalam eksplorasi, penemuan, dan pengembangan deposito baru merupakan hal yang penting untuk mempertahankan industri dalam jangka panjang.
Di dalam UU No 3 Tahun 2020 terdapat penambahan/perubahan hal substansial yang diharapkan dapat mendorong kegiatan eksplorasi di Indonesia. Tentunya, ini merupakan langkah positif dari pemerintah untuk mengatasi isu tersebut. Pemerintah telah menambahkan aturan mengenai penugasan penyelidikan dan penelitian, kewajiban pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi untuk melakukan eksplorasi lanjutan, dan mengenai dana ketahanan cadangan mineral dan batubara. Ketiga substansi ini belum diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 (UU Minerba). Selain itu, pemerintah juga telah melakukan revisi mengenai aturan pemindah tanganan IUP dan IUPK dalam UU No 3 Tahun 2020.
Dengan adanya aturan ini, kedepannya, diharapkan kegiatan eksplorasi baru maupun pengembangan di Indonesia akan meningkat sehingga jumlah cadangan dan sumberdaya juga akan meningkat. Selain itu, data cadangan dan sumberdaya yang diperoleh akan lebih detail sehingga kondisi WP yang dimiliki pemerintah akan lebih valid. Disisi lain, dengan data cadangan dan potensi yang update dan rinci, tentunya akan menarik perhatian investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Pengaturan Khusus Tentang Izin Pengusahaan Batuan/Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB)
Dalam UU No 4 tahun 2009 penambangan batuan belum diatur secara terperinci , termasuk dalam hal izinnya. Tidak adanya pengaturan terhadap penambangan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab dari pelaku penambangan batuan. Dalam Pasal 86 UU No 3 tahun 2020 telah diatur mengenai Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Batuan di sini dibatasi untuk kebutuhan konstruksi dan pembangunan yang menggunakan batuan material lepas (loose material) dan tidak membutuhkan peledakan meliputi tanah urug, tanah liat, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), batu gamping
SIPB diberikan untuk pengusahaan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu oleh menteri berdasarkan permohonan dari badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa, badan usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri, koperasi, atau perusahaan perseorangan. Pemberian izin oleh menteri dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko kerusakan alam, sekaligus meminimalisasi penyalahgunaan pemberian izin oleh pemerintah daerah.
Aktivitas penambangan dapat dilakukan setelah pelaku usaha memiliki dokumen perencanaan penambangan. Pemegang SIPB dapat diberi wilayah paling luas 50 (lima puluh) hektare. Selain itu, Pemegang SIPB tidak diperkenankan mengalihkan SIPB kepada pihak lain dan dilarang menggunakan bahan peledak dalam pelaksanaan penambangan. Pemegang SIPB berhak mendapat pembinaan di bidang keselamatan pertambangan, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari menteri. Pemegang SIPB diharapkan dapat menerapkan good mining practice dan tentunya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Reklamasi dan Pascatambang
Aktivitas penambangan sering dikaitkan dengan kegiatan perusakan lingkungan akibat adanya alih fungsi lahan, eksploitasi, dan lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja. Memang tak dapat dipungkiri, di beberapa area tambang, masih ada praktik-praktik penambangan tidak bertanggung jawab, tanpa mengindahkan dampak lingkungan yang ada. Sebetulnya dalam ketentuan perundang – undangan pun telah diwajibkan untuk mel akukan pemulihan lingkungan hidup yang terganggu sepanjang kegiatan pertambangan bagi pelaku usaha pertambangan.
Sumber: https://makassar.sindonews.com/
Dalam UU No 4 Tahun 2009 ketentuan tersebut sudah diatur, namun ada substansi krusial yang perlu diperjelas. Dalam UU No 3 tahun 2020 kini telah diatur mengenai rincian pelaksanaan reklamasi, di mana pelaku usaha harus memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi serta kewajiban melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir (Pasal 99). Selain itu, dalam pasal 123 dijelaskan WIUP atau WIUPK yang diciutkan atau dikembalikan dan pemegang IUP atau IUPK yang sudah berakhir diwajibkan melaksanakan reklamasi dan pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% dan menempatkan dana jaminan pascatambang untuk pemegang IUP atau IUPK.
Kemudian dalam hal WIUP atau WIUPK memenuhi kriteria untuk diusahakan kembali, dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang yang telah ditempatkan ditetapkan menjadi milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi. Tak kalah penting, kini sanksi pidana yang diberikan bagi perusahaan yang IUP atau IUPK-nya dicabut atau berakhir namun tidak melakukan reklamasi dan pascatambang serta menempatkan dana jaminan telah diatur dalam Pasal 161B, di mana akan dipidana paling lama 5 tahun penjara dan denda 10 Milyar.
Seiring adanya perbaikan kebijakan yang mengatur mengenai reklamasi dan pascatambang, perlu adanya implementasi yang nyata oleh para pelaku pertambangan serta penguatan sistem pengawasan oleh pemerintah agar pelanggaran dapat diminimalisasi sehingga kerusakan lingkungan dapat dihindarkan.
Jangka Waktu Perizinan untuk IUP atau IUPK yang Terintegrasi
Dalam Pasal 47 UU no 3 tahun 2020 kini telah diatur jangka waktu perizinan IUP atau IUPK yang terintegrasi. Untuk pertambangan mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara untuk pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kegiatan pengolahan, pemanfaatan, dan pemanfaatan batubara dapat berjalan secara efektif dan maksimal selama kurun waktu yang telah diberikan.
Dengan adanya jaminan yang diberikan oleh pemerintah terkait perpanjangan waktu perizinan, mungkin hal ini dapat memberikan keyakinan bagi pengusaha tambang untuk membangun fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian.
Ketentuan dalam amandemen KK/PKP2B telah mengatur terkait hak perpanjangan kelanjutan operasi KK/PKP2B dalam bentuk IUPK. Dalam Pasal 112 angka 2 dalam PP Nomor 77 Tahun 2014 telah diatur ketentuan terkait perpanjangan KK/PKP2B menjadi IUPK, dimana KK/PKP2 B yang belum memperoleh perpanjangan dapat diperpanjang menjadi IUPK Operasi Produksi perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Untuk menjamin kepastian hukum sekaligus menghormati ketentuan yang berlaku dalam kontrak, dalam UU No 3 Tahun 2020 telah diatur ketentuan terkait Kelanjutan Operasi KK/PKP2B untuk menegaskan kembali pengaturan perpanjangan KK/PKP2B.
Terdapat 3 hal subtansial yang diatur oleh pemerintah dalam UU No 3 Tahun 2020 terkait isu kelanjutan operasi KK/PKP2B yaitu bentuk kelanjutan operasi dan jangka waktunya, bentuk upaya peningkatan penerimaan negara, serta status barang milik negara dalam
pelaksanaan IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK Operasi Produksi sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. Upaya Peningkatan Penerimaan Negara dilakukan melalui:
PENUTUP
Sesuai ketentuan Pasal 174 UU Minerba , peraturan pelaksanaan UU Minerba harus ditetapkan dalam jangka waktu satu tahun sejak UU Minerba berlaku pada tanggal 10 Juni 2020. Sementara itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 173C UU Minerba peralihan kewenangan dari pemerintah daerah ke Pemerintah Pusat dilaksanakan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak UU Minerba berlaku atau sejak diterbitkannya peraturan pelaksanaan UU Minerba.
Rancangan Peraturan Pemerintah yang akan disusun oleh Pemerintah terdiri atas:
Selain itu, Pemerintah juga menyiapkan konsep penyusunan Peraturan Menteri ESDM sebagai pelaksanaan UU Minerba dan RPP pelaksanaan UU Minerba yang terdiri atas: